Rabu, 22 November 2017
Berkembang semenjak Abad XV di era pemerintahan Pangeran Muhammad, Seni Gaok merupakan ciri khas kesenian dari Majalengka, Jawa Barat. Sementara tokoh yang berperan membuatkan kesenian gaok antaranya ialah Sabda Wangsaharja sekitar tahun 1920-an di Kulur, Majalengka. Gaok merupakan kesenian jenis mamaos (membaca teks) atau disebut juga wawacan, dari kata wawar ka nu acan (memberi tahu kepada yang belum mengetahui), disuguhkan untuk keperluan ritual atau upacara adat.Kata gaok berasal dari kata “gorowok” artinya berteriak. (Disbudpar Majalengka, 2012).
Suara Melengking
Gaok dimainkan oleh empat hingga enam orang pemain yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Baju yang digunakan ialah baju kampret atau toro, lengkap dengan ikat kepala. Berbeda dengan nyanyian pupuh lainnya, seni Gaok memiliki ciri khas pada bunyi melengking (ngagaok) dan saling balas alukan (komentar atau improvisasi suara) yang dilakukan oleh beberapa orang tersebut.
Dalam pementasannya, Gaokl ebih sering dibawakan tanpa panggung, dengan membawakan suatu kisah (babad), yang dibaca dari suatu buku yang disebut wawacan (“bacaan”), yaitu kisah yang ditulis dalam puisi tradisional berbentuk pupuh, menyerupai misalnya pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Maskumambang, Magatruh, dan lain-lain, yang dalam vokabuler Sunda berjumlah 17 pupuh.
Satu wawacan, atau satu (episode) kisah yang bangkit sendiri secara utuh, mungkin memakai seluruh 17 pupuh, atau mungkin pula hanya sebagian saja,umumnya memiliki belasan jenis pupuh. Ada 4 pupuh yang selalu ada, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula, yang alasannya ialah itu pula dalam dunia sastra Sunda disebut “pupuh besar,” disingkat KSAD (Disbudpar Majalengka, 2012).
Ditampilkan dalam Acara Khusus
Gaok ini sendiri ditampilkan dalam program tertentu menyerupai prosesi ngayun (acara kelahiran bayi), babarit pare (menjelang panen), dan lain-lain (Supardan, 2010). Terdapat keunikan yang tampak dalam pagelaran Seni Gaok dimana para pelakunya didominasi oleh laki-laki. Alat kesenian yang digunakan sederhana berupa Bayung dan kecrek, namun bisa melahirkan alunan yang bervariatif. Seni Gaok yang termasuk sastra mulut ini pun tidakserta merta hanya sebuah kesenian yang tanpa makna.
Pertunjukan dipimpin oleh seorang dalang / pangrawit, dan pemain lainnya berperan sebagai juru mamaos. Selain sebagai juru mamaos, setiap pemain memegang sebuah alat musik atau waditra yang sangat sederhana, semuanya terbuat dari bambu, yaitu berupa kecrek, gendang bambu atau dapat juga digunakan buyung, dan gong bambu yang dibunyikan dengan cara ditiup. Penambahan waditra pada kesenian gaok ini sebetulnya hanya upaya diversifikasi saja, alasannya ialah secara original gaok tidak diiringi musik.
Karena sudah dilengkapi alat musik, maka tata urutannya sebagai berikut :
1. Tatalu, atau tabuhan pra pertunjukan
2. Lalaguan, antara lain lagu-lagu pupujian, dan
3. Pertunjukan, berisi kisah babad, kisah rakyat (dongeng), dsb.
Pada tahap pertunjukan, dalang membacakan larik-larik naskah yang kemudian setiap larik yang dibacakan itu dinyanyikan oleh juru mamos secara bergantian. Jenis lagu bersumber dari pupuh yang berjumlah 17. Namun lebih banyak menyanyikan lagu-lagu Ageung, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.
Cerita dalam Seni Gaok
Cerita dalam pergelaran seni Gaok di antaranya adalah: Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Sarmun, dsb. Bahan kisah Gaok kini ada yang sudah ditulis, antaranya Nyi Rambutkasih dan Talagamanggung, keduanya ditulis oleh E. Wangsadihardja (alm.).
Terlebih dilihat dari lirik pupuh yang dibawakan dalam Seni Gaok yang sarat makna dan pepatah faktual bagi pendengar, menyerupai syair naskah gaok berikut:
Leres pisan matur paman patih (betul sekali paman patih)
Nyata rea kamajuan (terbukti banyak kemajuan)
Pamingpin geten tulaten (pemimpin bijaksana)
Rahayat satia tuhu (rakyatsetia dan patuh)
Endang ge gancang ngalahir (Endang juga cepat lahir)
Teu eleh sauyunan (tak berhenti seiring)
Pikeun mangpu hirup (untuk bisa hidup)
Keur ningkatkeun ajen kahirupan (utuk menigkatkan kehidupan)
Sangkan rahayat mandiri (agar rakyat mandiri)
Desa bakal raharja (desa menjadi sejahtera)
(Wangsadiharja, 1997:1 dalam Aridah, 2013)
Salah satu pelaku kesenian Gaok ialah Abah Rukmin, juru Gaok yang tinggal di Kampung Tari Kolot, Desa Kulur, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka. Abah Rukmin merupakan juru Gaok terakhir yang dimiliki kampung Tari Kolot, bahkan mungkin Majalengka.
Abah Rukmin ialah murid pribadi dari juru Gaok generasi buhun Sabda Wangsahardja. Ia telah menjadi juru Gaok semenjak tahun 1963. Pada mulanya ia berguru membaca wawacan yang ditulis dalam abjad Pegon (tulisan Arab Melayu). Kemudian ia diajar membacakan atau menyanyikannya dengan langgam pupuh.
Suara Melengking
Gaok dimainkan oleh empat hingga enam orang pemain yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Baju yang digunakan ialah baju kampret atau toro, lengkap dengan ikat kepala. Berbeda dengan nyanyian pupuh lainnya, seni Gaok memiliki ciri khas pada bunyi melengking (ngagaok) dan saling balas alukan (komentar atau improvisasi suara) yang dilakukan oleh beberapa orang tersebut.
Dalam pementasannya, Gaokl ebih sering dibawakan tanpa panggung, dengan membawakan suatu kisah (babad), yang dibaca dari suatu buku yang disebut wawacan (“bacaan”), yaitu kisah yang ditulis dalam puisi tradisional berbentuk pupuh, menyerupai misalnya pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Maskumambang, Magatruh, dan lain-lain, yang dalam vokabuler Sunda berjumlah 17 pupuh.
Satu wawacan, atau satu (episode) kisah yang bangkit sendiri secara utuh, mungkin memakai seluruh 17 pupuh, atau mungkin pula hanya sebagian saja,umumnya memiliki belasan jenis pupuh. Ada 4 pupuh yang selalu ada, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula, yang alasannya ialah itu pula dalam dunia sastra Sunda disebut “pupuh besar,” disingkat KSAD (Disbudpar Majalengka, 2012).
Ditampilkan dalam Acara Khusus
Gaok ini sendiri ditampilkan dalam program tertentu menyerupai prosesi ngayun (acara kelahiran bayi), babarit pare (menjelang panen), dan lain-lain (Supardan, 2010). Terdapat keunikan yang tampak dalam pagelaran Seni Gaok dimana para pelakunya didominasi oleh laki-laki. Alat kesenian yang digunakan sederhana berupa Bayung dan kecrek, namun bisa melahirkan alunan yang bervariatif. Seni Gaok yang termasuk sastra mulut ini pun tidakserta merta hanya sebuah kesenian yang tanpa makna.
Pertunjukan dipimpin oleh seorang dalang / pangrawit, dan pemain lainnya berperan sebagai juru mamaos. Selain sebagai juru mamaos, setiap pemain memegang sebuah alat musik atau waditra yang sangat sederhana, semuanya terbuat dari bambu, yaitu berupa kecrek, gendang bambu atau dapat juga digunakan buyung, dan gong bambu yang dibunyikan dengan cara ditiup. Penambahan waditra pada kesenian gaok ini sebetulnya hanya upaya diversifikasi saja, alasannya ialah secara original gaok tidak diiringi musik.
Karena sudah dilengkapi alat musik, maka tata urutannya sebagai berikut :
1. Tatalu, atau tabuhan pra pertunjukan
2. Lalaguan, antara lain lagu-lagu pupujian, dan
3. Pertunjukan, berisi kisah babad, kisah rakyat (dongeng), dsb.
Pada tahap pertunjukan, dalang membacakan larik-larik naskah yang kemudian setiap larik yang dibacakan itu dinyanyikan oleh juru mamos secara bergantian. Jenis lagu bersumber dari pupuh yang berjumlah 17. Namun lebih banyak menyanyikan lagu-lagu Ageung, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.
Cerita dalam Seni Gaok
Cerita dalam pergelaran seni Gaok di antaranya adalah: Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Sarmun, dsb. Bahan kisah Gaok kini ada yang sudah ditulis, antaranya Nyi Rambutkasih dan Talagamanggung, keduanya ditulis oleh E. Wangsadihardja (alm.).
Terlebih dilihat dari lirik pupuh yang dibawakan dalam Seni Gaok yang sarat makna dan pepatah faktual bagi pendengar, menyerupai syair naskah gaok berikut:
Leres pisan matur paman patih (betul sekali paman patih)
Nyata rea kamajuan (terbukti banyak kemajuan)
Pamingpin geten tulaten (pemimpin bijaksana)
Rahayat satia tuhu (rakyatsetia dan patuh)
Endang ge gancang ngalahir (Endang juga cepat lahir)
Teu eleh sauyunan (tak berhenti seiring)
Pikeun mangpu hirup (untuk bisa hidup)
Keur ningkatkeun ajen kahirupan (utuk menigkatkan kehidupan)
Sangkan rahayat mandiri (agar rakyat mandiri)
Desa bakal raharja (desa menjadi sejahtera)
(Wangsadiharja, 1997:1 dalam Aridah, 2013)
Salah satu pelaku kesenian Gaok ialah Abah Rukmin, juru Gaok yang tinggal di Kampung Tari Kolot, Desa Kulur, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka. Abah Rukmin merupakan juru Gaok terakhir yang dimiliki kampung Tari Kolot, bahkan mungkin Majalengka.
Abah Rukmin ialah murid pribadi dari juru Gaok generasi buhun Sabda Wangsahardja. Ia telah menjadi juru Gaok semenjak tahun 1963. Pada mulanya ia berguru membaca wawacan yang ditulis dalam abjad Pegon (tulisan Arab Melayu). Kemudian ia diajar membacakan atau menyanyikannya dengan langgam pupuh.