Jumat, 01 Desember 2017
Inilah bentuk kesenian tradisional khas Sunda yang merupakan paduan seni musik, igel (tari), dan hewan peliharaan. Dengan kuda yang dilatih oleh ahlinya, kesenian Kuda Renggong sudah menjadi bab dari masyarakat Sunda. Di Tatar Jawa Barat, Kuda Renggong mampu kita lihat dikala program hajatan budak sunat. Anak yang disunat biasanya diarah dengan menggunakan kuda yang dihias dan sang kuda berjalan sambil menari mengikuti irama musik di belakangnya.
Kesenian khas Sunda ini sejatinya menyimpan potensi untuk dikembangkan menjadi salah satu atraksi hiburan bagi wisatawan. Dan itulah yang digelar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumedang dengan mengadakan Festival Seni Kuda Renggong Se-Jawa Barat 2016. Kegiatan ini diselenggarakan di Lapangan Pacuan Kuda Sindangraja (Dano), Sumedang utara, Kabupaten Sumedang pada Minggu 14 Agustus 2016.
Festival Seni Kuda Renggong se-Jawa Barat 2016 diselenggarakan oleh Paguyuban Kuda Renggong Kabupaten Sumedang (Paskures) serta Pordasi Jabar. Penyelenggaraan kesenian Kuda Renggong sebagai upaya pelestarian dan pemeliharaan kesenian tradisional kuda renggong.
Sejak Mei 2015, kesenian tradisional Kuda Renggong ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional berasal dari Jawa Barat. Penetapan ini dikuatkan dengan sumbangan akta penetapan bernomor 1539908 dari perwakilan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada program Festival Seni Kuda Renggong se-Kabupaten Sumedang.
Sejarah Kesenian Kuda Renggong
Nama Kuda Renggong tak dapat dilepaskan dari Sumedang. Kesenian Kuda Renggong atau yang dahulu biasa disebut kuda igel alasannya yaitu mampu ngigel (menari) ini konon tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang.
Sekitar tahun 1880-an, ada seorang anak laki-laki berjulukan Sipan yang mempunyai kebiasaan mengamati tingkah laku kuda-kuda miliknya yang berjulukan si Cengek dan si Dengkek. Dari pengamatannya itu, ia menyimpulkan bahwa kuda juga dapat dilatih untuk mengikuti gerakan-gerakan yang diinginkan oleh manusia.
elanjutnya, ia pun mulai melatih si Cengek dan si Dengkek untuk melaksanakan gerakan-gerakan seperti: lari melintang (adean), gerak lari ke pinggir menyerupai ayam yang sedang birahi (beger), gerak langkah pendek namun cepat (torolong), melangkah cepat (derep atau jogrog), gerakan kaki menyerupai setengah berlari (anjing minggat), dan gerak kaki depan cepat dan serempak (congklang) menyerupai gerakan yang biasa dilakukan oleh kuda pacu.
Cara yang digunakan untuk melatih kuda semoga mau melaksanakan gerakan-gerakan tersebut yaitu dengan memegang tali kendali kuda dan mencambuknya dari belakang semoga mengikuti irama musik yang diperdengarkan. Latihan dilakukan selama tiga bulan berturut-turut sampai kuda menjadi terbiasa dan setiap mendengar musik pengiring ia akan menari dengan sendirinya.
Melihat keberhasilan Sipan dalam melatih kuda-kudanya ‘ngarenggong’ membuat Pangeran Aria Surya Atmadja yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Sumedang menjadi tertarik dan memerintahkannya untuk melatih kuda-kudanya yang didatangkan pribadi dari Pulau Sumbawa. Dan, dari melatih kuda-kuda milik Pangeran Aria Surya Atmadja inilah kesudahannya Sipan dikenal sebagai pencipta kesenian kuda renggong.
Kesenian khas Sunda ini sejatinya menyimpan potensi untuk dikembangkan menjadi salah satu atraksi hiburan bagi wisatawan. Dan itulah yang digelar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumedang dengan mengadakan Festival Seni Kuda Renggong Se-Jawa Barat 2016. Kegiatan ini diselenggarakan di Lapangan Pacuan Kuda Sindangraja (Dano), Sumedang utara, Kabupaten Sumedang pada Minggu 14 Agustus 2016.
Festival Seni Kuda Renggong se-Jawa Barat 2016 diselenggarakan oleh Paguyuban Kuda Renggong Kabupaten Sumedang (Paskures) serta Pordasi Jabar. Penyelenggaraan kesenian Kuda Renggong sebagai upaya pelestarian dan pemeliharaan kesenian tradisional kuda renggong.
Sejak Mei 2015, kesenian tradisional Kuda Renggong ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional berasal dari Jawa Barat. Penetapan ini dikuatkan dengan sumbangan akta penetapan bernomor 1539908 dari perwakilan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada program Festival Seni Kuda Renggong se-Kabupaten Sumedang.
Sejarah Kesenian Kuda Renggong
Nama Kuda Renggong tak dapat dilepaskan dari Sumedang. Kesenian Kuda Renggong atau yang dahulu biasa disebut kuda igel alasannya yaitu mampu ngigel (menari) ini konon tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang.
Sekitar tahun 1880-an, ada seorang anak laki-laki berjulukan Sipan yang mempunyai kebiasaan mengamati tingkah laku kuda-kuda miliknya yang berjulukan si Cengek dan si Dengkek. Dari pengamatannya itu, ia menyimpulkan bahwa kuda juga dapat dilatih untuk mengikuti gerakan-gerakan yang diinginkan oleh manusia.
elanjutnya, ia pun mulai melatih si Cengek dan si Dengkek untuk melaksanakan gerakan-gerakan seperti: lari melintang (adean), gerak lari ke pinggir menyerupai ayam yang sedang birahi (beger), gerak langkah pendek namun cepat (torolong), melangkah cepat (derep atau jogrog), gerakan kaki menyerupai setengah berlari (anjing minggat), dan gerak kaki depan cepat dan serempak (congklang) menyerupai gerakan yang biasa dilakukan oleh kuda pacu.
Cara yang digunakan untuk melatih kuda semoga mau melaksanakan gerakan-gerakan tersebut yaitu dengan memegang tali kendali kuda dan mencambuknya dari belakang semoga mengikuti irama musik yang diperdengarkan. Latihan dilakukan selama tiga bulan berturut-turut sampai kuda menjadi terbiasa dan setiap mendengar musik pengiring ia akan menari dengan sendirinya.
Melihat keberhasilan Sipan dalam melatih kuda-kudanya ‘ngarenggong’ membuat Pangeran Aria Surya Atmadja yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Sumedang menjadi tertarik dan memerintahkannya untuk melatih kuda-kudanya yang didatangkan pribadi dari Pulau Sumbawa. Dan, dari melatih kuda-kuda milik Pangeran Aria Surya Atmadja inilah kesudahannya Sipan dikenal sebagai pencipta kesenian kuda renggong.