Jumat, 22 September 2017
Tak bisa dipungkiri, untuk urusan pengelolaan dan pengembangan wisata, pihak pemerintah kalah jauh dengan pihak swasta. Beberapa tempat wisata yang dikelola oleh pihak swasta ibarat di Bandung bisa menyedot pengunjung dan memberi andil dalam pendapatan kas daerah. Salah satunya bisa dilihat di Bandung ibarat Farmhouse Lembang yang jadi wisata primadona selama 2016. Untuk urusan inovasi pengelolaan dan pembenahan wisata, Bandung memang dirasa masih menjadi kiblatnya.
Juga wisata Floating Market Lembang yang tetap menjadi tujuan para wisatawan yang berlibur ke Lembang. Kedua tempat wisata tersebut dikelola oleh "raja factory outlet" Perry Tristianto. Dengan kelihaian menangkap peluang bisnis sektor wisata, ia bisa menyajikan konsep tempat wisata yang lain daripada yang lain. Begitu pula tempat wisata lain di Ciwidey ibarat Barusen Hills, Ciwidey Valley Resort, Glamping Legok Kondang, Dago Dream Park, Lereng Anteng Ciumbuleuit, Restoran Perahu Situ Patenggang, Dusun Bambu, atau The Lodge Maribaya yang menyajikan konsep unik bisa merebut perhatian para wisatawan.
Namun, pihak pemerintah daerah pun ibarat Purwakarta bisa juga memoles dan menyajikan tempat wisata yang semakin hari kian digandrungi. Pihak lain ibarat Perum Perhutani pun memunculkan inovasi gres dalam penataan dan pengelolaan tempat wisata, ibarat yang dilakukan pada tempat wisata Curug Pelangi (Curug Pelangi) ataupun Puncak Bintang.
Di Tasikmalaya pun sempat tren Menara Eiffel versi Tasik yang terbuat dari bambu. Namun, entah mengapa lambat laun pamornya meredup. Mungkin alasannya pengelolaan dan koordinasi pengelola dengan pihan dinas terkait kurang. Padahal spot menara dari bambu tersebut berpotensi jadi ikon wisata Tasikmalaya.
Peran netizen dan komunitas wisata
Para netizen yang mengelola akun medsos, blogger, ataupun vlogger tak dapat disepelekan. Informasi perihal tren wisata di Jawa Barat cepat menyebar secara viral dan mengundang kunjungan wisatawan. Ini dirasakan oleh sendiri, dimana dari bulan ke bulan rasanya tim kami mendadak jadi public relation pada para wisatawan yang sering bertanya via SMS/telepon/WA atau via e-mail yang menanyakan perihal tempat wisata yang sedang ngetren di media sosial.
Pertanyaan yang diajukan biasanya seputar saluran ke lokasi, harga tiket masuk, jam operasional, hotel/penginapan terdekat, sampai kontak pengelola. Ini yang kerap bikin kami galau alasannya saluran berita dan kontak harus selalu di-update. Untuk tempat wisata di Bandung memang tergolong tidak dilema alasannya pengelola bekerja sama baik dengan saling menunjukkan informasi. Namun untuk daerah lain, tempat wisata yang sedang ngehits kebanyakan masih dikelola masyarakat atau apa adanya.
Inilah peran pemerintah daerah dengan dinas terkait ataupun pengelola wisata untuk bisa menunjukkan saluran berita lebih mendalam akan potensi tempat wisata di daerahnya. Ya, minimal dengan membuat website/blog atau akun media umum perihal tempat wisata tersebut. Hal ini biar para calon wisatawan tidak pareumeun oboro atau sangat sulit menerima berita perihal profil dan kontak tempat wisata tersebut.
Bencana alam dan minimnya saluran transportasi
Cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini memang berimbas pada kunjungan wisata. Misalnya terjadinya longsor di Jln. Kolonel Masturi (Parongpong) Lembang; banjir bandang Sungai Cimanuk Garut; banjir di Pasteur dan Pagarsih Bandung; amblesnya Jembatan Putrapinggan (jalur ke Pangandaran); atau yang terbaru di final 2016 bergeser dan retaknya Jembatan Cisomang di Tol Cipularang lumayan mengganggu kunjungan wisatawan.
Masalah lainnya terkait minimnya saluran transportasi ke tempat wisata. Misalnya saluran ke Geopark Ciletuh di Sukabumi yang kondisi jalannya masih belum ngeunaheun alias belum nyaman. Atau saluran ke wisata jalur selatan di Tasikmalaya yang terganggu alasannya longsor di Salopa. Kunjungan wisatawan ke Curug Dengdeng, Cikatomas pun lumayan meredup. Padahal dikala itu, pamor Curug Dengdeng sedang naik dan menarik perhatian kunjungan para pelancong yang penasaran dengan keindahan gerojokan tersebut. Termasuk juga jalur ke wisata favorit Ciwidey di Bandung Selatan yang kondisi jalannya belum banyak perubahan, dimana jalan sempit, kalau hujan licin, dan animo liburan macetnya minta ampun.
Pungutan liar dan karcis/retribusi mahal di tempat wisata
Ada kebiasaan di negara kita, bila animo liburan dipastikan tarif masuk, hotel, sampai harga masakan ikut naik. Ini alasannya mengikut hukum permintaan, dimana undangan banyak harga pun jadi naik. Kalau kenaikan masih batas wajar masih bisa dimaklumi. Namun kalau tiba-tiba harga karcis atau retribusi lain jadi naik, itu bikin wisatawan lokal dan wisatawan gila berpikiri dua kali untuk mengunjungi tempat wisata tersebut.
Kejadian ibarat itu terjadi dikala animo liburan Idulfitri dan Imlek 2016, salah satunya di daerah wisata pantai di Garut Selatan. Dimana wisatawan harus merogoh kocek lebih dalam dari urusan tarif parkir, pemaksaan beli makanan di warung, sampai tarif wahana wisata yang melambung tinggi. Kejadian ini terjadi pula di daerah wisata Pantai Pangandaran dimana pungli dan japrem yang terjadi sempat membikin wisatawan resah.
Oknum ormas dan preman biasanya kadang jadi pengganggu kenyamanan di tempat wisata. Modus yang dilakukan biasanya dengan memaksa mencuci kendaraan beroda empat yang diparkir di hotel/tempat penginapan dan biaya jasa basuh bisa mencapai 100 ribu lebih (ini dialami sendiri oleh tim ); dipaksa membeli makanan di warung yang ditentukan olehnya; atau retribusi lain di tempat wisata yang tidak sesuai ketentuan aturan Pemda setempat.
Juga wisata Floating Market Lembang yang tetap menjadi tujuan para wisatawan yang berlibur ke Lembang. Kedua tempat wisata tersebut dikelola oleh "raja factory outlet" Perry Tristianto. Dengan kelihaian menangkap peluang bisnis sektor wisata, ia bisa menyajikan konsep tempat wisata yang lain daripada yang lain. Begitu pula tempat wisata lain di Ciwidey ibarat Barusen Hills, Ciwidey Valley Resort, Glamping Legok Kondang, Dago Dream Park, Lereng Anteng Ciumbuleuit, Restoran Perahu Situ Patenggang, Dusun Bambu, atau The Lodge Maribaya yang menyajikan konsep unik bisa merebut perhatian para wisatawan.
Namun, pihak pemerintah daerah pun ibarat Purwakarta bisa juga memoles dan menyajikan tempat wisata yang semakin hari kian digandrungi. Pihak lain ibarat Perum Perhutani pun memunculkan inovasi gres dalam penataan dan pengelolaan tempat wisata, ibarat yang dilakukan pada tempat wisata Curug Pelangi (Curug Pelangi) ataupun Puncak Bintang.
Di Tasikmalaya pun sempat tren Menara Eiffel versi Tasik yang terbuat dari bambu. Namun, entah mengapa lambat laun pamornya meredup. Mungkin alasannya pengelolaan dan koordinasi pengelola dengan pihan dinas terkait kurang. Padahal spot menara dari bambu tersebut berpotensi jadi ikon wisata Tasikmalaya.
Peran netizen dan komunitas wisata
Para netizen yang mengelola akun medsos, blogger, ataupun vlogger tak dapat disepelekan. Informasi perihal tren wisata di Jawa Barat cepat menyebar secara viral dan mengundang kunjungan wisatawan. Ini dirasakan oleh sendiri, dimana dari bulan ke bulan rasanya tim kami mendadak jadi public relation pada para wisatawan yang sering bertanya via SMS/telepon/WA atau via e-mail yang menanyakan perihal tempat wisata yang sedang ngetren di media sosial.
Pertanyaan yang diajukan biasanya seputar saluran ke lokasi, harga tiket masuk, jam operasional, hotel/penginapan terdekat, sampai kontak pengelola. Ini yang kerap bikin kami galau alasannya saluran berita dan kontak harus selalu di-update. Untuk tempat wisata di Bandung memang tergolong tidak dilema alasannya pengelola bekerja sama baik dengan saling menunjukkan informasi. Namun untuk daerah lain, tempat wisata yang sedang ngehits kebanyakan masih dikelola masyarakat atau apa adanya.
Inilah peran pemerintah daerah dengan dinas terkait ataupun pengelola wisata untuk bisa menunjukkan saluran berita lebih mendalam akan potensi tempat wisata di daerahnya. Ya, minimal dengan membuat website/blog atau akun media umum perihal tempat wisata tersebut. Hal ini biar para calon wisatawan tidak pareumeun oboro atau sangat sulit menerima berita perihal profil dan kontak tempat wisata tersebut.
Bencana alam dan minimnya saluran transportasi
Cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini memang berimbas pada kunjungan wisata. Misalnya terjadinya longsor di Jln. Kolonel Masturi (Parongpong) Lembang; banjir bandang Sungai Cimanuk Garut; banjir di Pasteur dan Pagarsih Bandung; amblesnya Jembatan Putrapinggan (jalur ke Pangandaran); atau yang terbaru di final 2016 bergeser dan retaknya Jembatan Cisomang di Tol Cipularang lumayan mengganggu kunjungan wisatawan.
Masalah lainnya terkait minimnya saluran transportasi ke tempat wisata. Misalnya saluran ke Geopark Ciletuh di Sukabumi yang kondisi jalannya masih belum ngeunaheun alias belum nyaman. Atau saluran ke wisata jalur selatan di Tasikmalaya yang terganggu alasannya longsor di Salopa. Kunjungan wisatawan ke Curug Dengdeng, Cikatomas pun lumayan meredup. Padahal dikala itu, pamor Curug Dengdeng sedang naik dan menarik perhatian kunjungan para pelancong yang penasaran dengan keindahan gerojokan tersebut. Termasuk juga jalur ke wisata favorit Ciwidey di Bandung Selatan yang kondisi jalannya belum banyak perubahan, dimana jalan sempit, kalau hujan licin, dan animo liburan macetnya minta ampun.
Pungutan liar dan karcis/retribusi mahal di tempat wisata
Ada kebiasaan di negara kita, bila animo liburan dipastikan tarif masuk, hotel, sampai harga masakan ikut naik. Ini alasannya mengikut hukum permintaan, dimana undangan banyak harga pun jadi naik. Kalau kenaikan masih batas wajar masih bisa dimaklumi. Namun kalau tiba-tiba harga karcis atau retribusi lain jadi naik, itu bikin wisatawan lokal dan wisatawan gila berpikiri dua kali untuk mengunjungi tempat wisata tersebut.
Kejadian ibarat itu terjadi dikala animo liburan Idulfitri dan Imlek 2016, salah satunya di daerah wisata pantai di Garut Selatan. Dimana wisatawan harus merogoh kocek lebih dalam dari urusan tarif parkir, pemaksaan beli makanan di warung, sampai tarif wahana wisata yang melambung tinggi. Kejadian ini terjadi pula di daerah wisata Pantai Pangandaran dimana pungli dan japrem yang terjadi sempat membikin wisatawan resah.
Oknum ormas dan preman biasanya kadang jadi pengganggu kenyamanan di tempat wisata. Modus yang dilakukan biasanya dengan memaksa mencuci kendaraan beroda empat yang diparkir di hotel/tempat penginapan dan biaya jasa basuh bisa mencapai 100 ribu lebih (ini dialami sendiri oleh tim ); dipaksa membeli makanan di warung yang ditentukan olehnya; atau retribusi lain di tempat wisata yang tidak sesuai ketentuan aturan Pemda setempat.
Tag :
Berita Pariwisata